Kamis, 12 Juni 2014

Hadiah yang Lebih Berharga dari Sebuah Penglihatan

Hadiah yang Lebih Berharga dari Sebuah Penglihatan

Setahun sudah Susan menjadi buta, usianya sekarang tiga puluh empat tahun. Gara-gara salah diagnosa dia kehilangan penglihatan dan terlempar kedunia yang gelap gulita, penuh amarah, frustasi, dan rasa kasihan pada diri sendiri.
Sebagai wanita yang sangat independen, Susan merasa terkutuk oleh nasib mengerikan yang membuatnya kehilangan kemampuan, merasa tak berdaya, dan menjadi beban bagi semua orang di sekelilingnya. ”Bagaimana mungkin ini bisa terjadi padaku?”, ia bertanya-tanya, hatinya mengeras karena marah. Tetapi, betapapun seringnya ia menangis atau menggerutu atau berdoa, ia mengerti kenyataan yang menyakitkan itu, penglihatannya takkan pernah pulih lagi.
Depresi mematahkan semangat Susan yang tadinya selalu optimis. Mengisi waktu seharian kini merupakan perjuangan berat yang menguras tenaga dan membuatnya frustasi. Dia menjadi sangat bergantung pada Markus, suaminya. Markus seorang perwira Angkatan Udara. Dia mencintai Susan dengan tulus. Ketika istrinya baru kehilangan penglihatan, dia melihat bagaimana Susan tenggelam dalam keputusasaan. Markus bertekat untuk membantunya menemukan kembali kekuatan dan rasa percaya diri yang dibutuhkan Susan untuk menjadi mandiri lagi. Latar belakang militer Markus, membuatnya terlatih untuk menghadapi berbagai situasi darurat, tetapi dia tahu, ini adalah pertempuran yang paling sulit yang pernah dihadapinya.
Akhirnya, Susan siap untuk bekerja lagi. Tetapi, bagaimana dia bisa sampai ke kantornya? Dulu, Susan biasa naik bus, tetapi sekarang takut untuk pergi ke kota sendirian. Markus menawarkan untuk mengantarnya setiap hari, meskipun tempat kerja mereka terletak di pinggir kota yang berseberangan. Mula-mula, kesepakatan itu membuat Susan nyaman dan Markus puas karena bisa melindungi istrinya yang buta, yang tidak yakin akan bisa melakukan hal-hal paling sederhana sekalipun.
Tetapi, Markus menyadari bahwa pengaturan itu keliru, membuat mereka terburu-buru, dan terlalu mahal. Susan harus belajar naik bus lagi, Markus menyimpulkan dalam hati. Tetapi, baru berpikir menyampaikan rencana itu kepada Susan telah membuatnya merasa tidak enak. Susan masih sangat rapuh, masih sangat marah. Bagaimana reaksinya nanti?
Persis seperti dugaan Markus, Susan merasa ngeri mendengar gagasan untuk naik bus kembali. “Aku buta! “, tukasnya dengan pahit. “Bagaimana aku bisa tahu kemana aku pergi? Aku tahu, kau tidak lagi cinta padaku”. Markus sedih mendengar kata-kata itu, tetapi ia tahu apa yang harus dilakukan. Dia berjanji bahwa setiap pagi dan sore, ia akan naik bus bersama Susan, selama masih diperlukan, sampai Susan hafal dan bisa pergi sendiri. Dan itulah yang terjadi.
Selama dua minggu penuh, Markus menggunakan seragam militer lengkap, mengawal Susan ke tempat dan dari tempat kerja, setiap hari. Dia mengajari Susan bagaimana menggantungkan diri pada indranya yang lain, terutama pendengarannya, untuk menemukan dimana ia berada dan bagaimana beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Dia menolong Susan berkenalan dan berkawan dengan sopir-sopir bus dan menyisakan satu kursi kosong untuknya. Dia membuat Susan tertawa, bahkan pada hari-hari yang tidak terlalu menyenangkan ketika Susan tersandung waktu turun dari bus, atau menjatuhkan tasnya yang penuh berkas di lorong bus. Setiap pagi mereka berangkat bersama-sama, setelah itu Markus akan naik taksi ke kantornya.
Meskipun pengaturan itu lebih mahal dan melelahkan daripada yang pertama, Markus yakin bahwa hanya soal waktu sebelum Susan mampu naik bus tanpa dikawal. Markus percaya kepadanya, percaya kepada Susan yang dulu dikenalnya sebelum wanita itu kehilangan penglihatannya; wanita yang tidak pernah takut menghadapi tantangan apapun dan tidak akan pernah menyerah. Akhirnya, Susan memutuskan bahwa dia siap untuk melakukan perjalanan itu seorang diri.
Tibalah hari Senin. Sebelum berangkat, Susan memeluk Markus yang pernah menjadi kawannya satu bus dan sahabatnya yang terbaik. Matanya berkaca-kaca, penuh air mata syukur karena kesetiaan, kesabaran dan cinta Markus. Dia mengucapkan selamat berpisah. Untuk pertama kalinya mereka pergi ke arah yang berlawanan. Senin, Selasa, Rabu, Kamis, setiap hari dijalaninya dengan sempurna. Belum pernah Susan merasa sepuas itu. Dia berhasil ! Dia mampu berangkat kerja tanpa dikawal.
Pada hari Jumat pagi, seperti biasa, Susan naik bus ke tempat kerja. Ketika dia membayar ongkos bus sebelum turun, sopir bus itu berkata : “Wah, aku iri padamu”. Susan tidak yakin apakah sopir itu bicara kepadanya atau tidak. Lagi pula, siapa yang bisa iri pada seorang wanita buta yang sepanjang tahun lalu berusaha menemukan keberanian untuk menjalani hidup? Dengan penasaran, dia berkata kepada sopir itu, “Kenapa kau bilang kau iri kepadaku?” Sopir itu menjawab, “Kau pasti senang selalu dilindungi dan dijagai seperti itu”. Susan tidak mengerti apa maksud sopir itu. Sekali lagi Susan bertanya, “Apa maksudmu ?”. Supir menjawab: ”Setiap pagi ada seorang pria tampan berseragam militer berdiri di sudut jalan dan mengawasimu waktu kau turun dari bus. Dia memastikan bahwa kau menyeberang dengan selamat dan dia mengawasimu terus sampai kau masuk ke kantormu. Setelah itu dia meniupkan ciuman, memberi hormat seperti militer, lalu pergi. Kau wanita yang beruntung”, kata sopir itu.
Air mata bahagia membasahi pipi Susan. Karena meskipun secara fisik tidak dapat melihat Markus, dia selalu bisa memastikan kehadirannya. Dia beruntung, sangat beruntung, karena Markus memberikannya hadiah yang jauh lebih berharga dari pada penglihatan, hadiah yang tak perlu dilihatnya dengan matanya untuk meyakinkan diri, hadiah cinta, yang bisa menjadi penerang dimana pun ada kegelapan.
Sikap Markus mengawal Susan tanpa ada motivasi agar dilihat oleh Susan sendiri, sungguh sebuah tindakan kasih yang menyentuh perasaan kita. Kasih Markus membuat Susan meneteskan air mata sukacita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar